DPP SEPMI

SERIKAT PELAJAR MUSLIMIN INDONESIA

Artikel

Piagam Jakarta Dalam Perspektif Sejarah (Meyambut Milad Ke-76 Piagam Jakarta 22-6-1945 Sampai 22-6-2021)

Ilustrasi

ARTIKEL. DPP-SEPMI.OR.ID. Profesor Notonagoro menyebut Piagam Jakarta sebagai Gentelmen Agremen/Perjanjian Luhur The Foundhing Pather antara Kelompok Islam dan Kebangsaan. Dokumen historis berupa kompromi antara pihak Islam dan pihak kebangsaan dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) untuk menjembatani perbedaan dalam agama dan negara. Disebut juga “Jakarta Charter”. Merupakan piagam atau naskah yang disusun dalam rapat Panitia Sembilan atau 9 tokoh Indonesia pada tanggal 22 Juni 1945.

Kesembilan tokoh tersebut adalah Ir. Sukarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakir, H. Agus Salim, Mr. Ahmad Subardjo, Wachid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. BPUPKI dibentuk 29 April 1945 sebagai realisasi janji Jepang untuk memberi kemerdekaan pada Indonesia. Anggotanya dilantik 28 Mei 1945 dan persidangan pertama dilakukan keesokan harinya sampai dengan 1 Juni 1945. Sesudah itu dibentuk panitia kecil (8 orang) untuk merumuskan gagasan-gagasan tentang dasar-dasar negara yang dilontarkan oleh 3 pembicara pada persidangan pertama. Dalam masa reses terbentuk Panitia Sembilan. Panitia ini menyusun naskah yang semula dimaksudkan sebagai teks proklamasi kemerdekaan, namun akhirnya dijadikan Pembukaan atau PreambuleUUD”5. Naskah inilah yang disebut Piagam Jakarta.

Piagam Jakarta berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme, serta memulai dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perdamaian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu merupakan sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan dan Konstitusi Republik Indonesia.
Bunyinya adalah seperti berikut:

PIAGAM DJAKARTA

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa, dan oleh sebab itu maka pendjadjahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan perikeadilan.
Dan perdjuangan pergerakan Kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat jang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan Rakjat Indonesia kedepan pintu-gerbang Negara Indonesia, jang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Jang Maha Kuasa, dan dengan didorongkan oleh keinginan-luhur, supaja berkehidupan kebangsaan jang bebas, maka Rakjat Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaannja.

Kemudian dari pada itu membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia jang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah-darah Indonesia, dan untuk memadjukan kesedjahteraan umum, mentjerdaskan kehidupan Bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia jang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, jang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia jang berkedaulatan Rakjat, dengan berdasar kepada: keTuhanan, dengan kewadjiban mendjalankan sjari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknja; menurut dan kemanusiaan jang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakjatan jang dipimpin oleh hikmat-kebidjaksanaan dalam permusjarawaratan perwakilan, serta dengan mewudjudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh Rakjat Indonesia.
Djakarta, 22-6-2605
Ir.Sukarno
Drs. Mohammad Hatta
Mr .A.A. Maramis
Abikusno Tjokrosujoso
Abdulkahar Muzakir
H.A. Salim
Mr Achmad Subardjo
Wachid Hasjim
Mr Muhammad Yamin
 

Dalam naskah tersebut terdapat antara lain kata-kata: “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945, Hatta didatangi oleh seorang perwira angkatan laut Jepang yang menyampaikan keberatan para tokoh Indonesia bagian Timur atas pemakaian kata-kata tersebut, sebab berarti rumusan itu tidak berlaku bagi pemeluk agama lain. Untuk menghindari perpecahan esoknya sebelum sidang PPKI, Hatta mengadakan pembicaraan dengan tokoh-tokoh Islam. Mereka setuju untuk menghilangkan kata-kata tersebut dan menggantinya dengan kata “Yang Maha Esa”, dengan rumusannya menjadi ” Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kesepakatan ini diterima oleh sidang PPKI. Piagam Jakarta yang sudah mengalami perubahan itu ditetapkan sebagai pembukaan UUD45.

Piagam Jakarta itulah yang menjadi Mukaddimah (preamble) Konstitusi Republik Indonesia serta Undang-undang Dasar 1945, disusun menurut filosofi-politik yang ditentukan di dalam piagam-persetujuan itu. Piagam Jakarta berisi pula kalimat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang dinyatakan tanggal 17 Agustus 1945. Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi.

Sejarah dan awal perumusan Dasar Negara

Faktanya, latar belakang terbentuknya Dasar Negara  berawal dari pembicaraan panjang yang dilaksanakan BPUPKI untuk merumuskan dasar negara. Pembicaraan yang dilakukan pada 29 Mei sampai 1 Juni 1945 itu dihadiri Muhammad Yamin, Prof. Dr Soepomo, dan Ir. Soekarno. Ketiga tokoh itu menyajikan gagasan dasar negara mereka untuk bangsa Indonesia. Dalam peluang itu, Soekarno memerkenalkan gagasan itu dengan istilah Pancasila.
Mendengar gagasan itu, BPUPKI kemudian menyusun Panitia Sembilan guna membentuk dasar negara dengan merujuk dari pidato yang dikenalkan oleh Soekarno.
Panitia Sembilan ini beranggotakan:
1. Ir. Soekarno
2. Drs. Mohammad Hatta
3. Mr. A. A. Maramis
4. Mr. Muhammad Yamin
5. Ahmad Subardjo
6. Abikoesno Tjokrosoejoso
7. Abdul Kahar Muzakkar8. H. Agus Salim
9. K.H Abdul Wahid Hasyim

Sejarah penetapan Dasar Negara juga berjalan melewati progres yang panjang. Rumusan Dasar Negara terdapat dalam sebagian dokumen, seperti Piagam Jakarta dan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
Piagam Jakarta dalam sejarah
1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab
3. Persatuan Indonesia
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
    Rumusan awal ini memunculkan pro kontra, terutama pada sila pertama yang cuma meliputi pemeluk agama Islam. Saat rapat Panitia Perancang UUD pada 11 Juli 1945, J Latuharhary menyampaikan keberatan, terutama kewajiban melakukan syariat buat pemeluk-pemeluknya.
 
Sesudah melewati beragam kompromi pada rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, 18 Agustus 1945, Hatta menceritakan rumusan final pembukaan UUD Negara, yang salah satunya tentang perubahan kalimat pada dasar negara menjadi “Negara berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”.Suasana sidang BPUPKI (Sumber: Commons Wikimedia)

BPUPKI sendiri berperan penting dalam sejarah Pembentukan Dasar Negara. George S. Kanahele, dalam The Japanese Ocupation of Indonesia (1967:184) mengungkapkan, pada 1 Maret 1945, Kumaikichi Harada, Jenderal Dai Nippon yang membawahi wilayah Jawa mengumumkan akan dibentuk suatu badan baru dengan nama Dokuritsu Junbi Cosakai.

Dokuritsu Junbi Cosakai inilah yang disebut sebagai BPUPKI. Meskipun telah ada semenjak 1 Maret 1945, BPUPKI baru disahkan tanggal 29 April 1945.
Pada 29 Mei 1945, sidang pertama BPUPKI pertama kali diadakan dan dibuka oleh Dr. Radjiman Wediodiningrat sebagai ketuanya. Sidang pertama ini berlanjut sampai 1 Juni 1945.

Di sidang pertama ini, ada tiga pembicara yang mengemukakan anggapan berkaitan dengan perumusan dasar negara, atau yang nantinya diketahui sebagai Pancasila. Pembicara pertama adalah Mohammad Yamin. Dalam sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, Yamin menjelaskan perihal “Azas dan Dasar Negara Indonesia Merdeka”. Pembicara kedua adalah R. Soepomo.

Piagam Jakarta adalah nama yang diberikan Mr Muhammad Yamin atas sebuah kesepakatan yang berisi tentang teks tertulis yang isinya memuat rumusan dari hukum dasar negara Republik Indonesia. Piagam ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan (Panitia Kecil BPUPKI) pada tanggal 22 Juni 1945 di rumah Bung Karno (rumah itu telah dibongkar dan dijadikan kompleks Monumen Proklamasi yang berada di Jl Pegangsaan TimurJakarta).

Piagam ini dibuat setelah melalui rapat maraton yang berlangsung selama sepekan, mulai 10-16 Juli 1945. Untuk mencapai kesepakatan sidang berlangsung alot dan penuh adu argumen yang melibatkan dua kelompok kebangsaan yang saat itu sangat berpengaruh, yakni kelompok nasionalis dan kelompok Islam. Dalam piagam ini tertuang arah dan tujuan bernegera serta memuat pula lima rumusan dasar negara (Pancasila).

Sedangkan, BPUPKI dibentuk pada tanggal 29 April 1945 sebagai pelaksanaan janji pemerintah pendudukan Jepang untuk memberi kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Dan ketika ingin membahas dasar negara secara lebih serius, maka kemudian BPUPKI membentuk tim kecil yang berisi sembilan tokoh yang dianggap mewakili dua kelompok penting tersebut, yakni nasionalis sekuler dan nasionalis agama.

Mereka adalah Ir Sukarno, Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H Agus Salim, Mr Achmad Subardjo, KH Wahid Hasyim, dan Mr Muhammad Yamin. Salah satu hasilnya adalah berhasil membuat naskah pembukaan undang-undang dasar dan rumusan dasar negara meski ada sedikit perbedaan, misalnya dengan apa yang dipidatokan oleh Sukarno pada 1 Juni 1945.

Dalam Piagam Jakarta itu terdapat rumusan sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Rumusan ini pada tanggal 18 Agustus 1945 berubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa. Kesepakatan ini terjadi setelah adanya lobi dari Bung Hatta kepada kelompok Islam yang digawangi Ki Bagus Hadikusumo karena ada utusan kelompok dari tokoh di Indonesia timur yang “mengancam” akan memisahkah diri dari Indonesia bila rumusan sila pertama dalam Piagam Jakarta tetap menggunakan frasa “kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Pada lobi yang berlangsung di sore hari pada 17 Agustus 1945 sempat terjadi kekhawatiran bila usaha itu akan mengalami kegagalan. Semua tahu akan sikap keras Ki Bagus Hadikusumo yang menganggap rumusan di Piagam Jakarta sudah final dan merupakan jalan kompromi terbaik. Namun, Hatta tak putus asa. Dia kemudian memilih Kasman Singodimedjo untuk melunakkan hati Ki Bagus Hadikusumo. Penunjukan kepada Kasman dianggap paing tepat karena dia juga merupakan teman dekat dari Ki Bagus Hadikusumo.

Memang pada awalnya Ki Bagus Hadikusumo menolak, bahkan dia merasa dikhianati. Namun, dia kemudian berhasil dibujuk dengan mengingatkan adanya ancaman pemisahan diri dari beberapa tokoh wilayah Indonesia timur tersebut. Akhirnya, dengan nada yang berat, kemudian Ki Bagus bisa menerimanya dengan memberikan syarat dialah yang menentukan rumusan sila pertama Pancasila setelah tujuh Kalimat itu dihapus.

Ki Bagus tidak memilih kata “ketuhanan” saja, tetapi menambahkannya dengan “Yang Maha Esa” atau menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Pada kemudian hari, yakni 70 tahun kemudian, setelah melalui perjuangan yang alot dan berliku, pada 10 November 2015 kelapangan hati Ki Bagus Hadikusumo tersebut baru mendapat pengakuan yang setimpal dari negara dengan pemberian gelar sebagai pahlawan nasionalkepadanya.

Terkait mengenai perubahan rumusan sila pertama itu, Guru Besar Kajian Islam Universitas Paramadina Prof DR Abdul Hadi WM mengatakan, sarjana Belanda terkemuka yang pakar tentang Indonesia, Nijwenhuijze, pernah mengatakan bahwa rumusan sila pertama Pancasila itu berasal dari golongan nasionalis Islam. Pendapat yang sama juga dikatakan pakar hukum tata negara, almarhum Dr Hazairin. Dia berpendapat bahwa rumusan sila itu memang merupakan bukti kelapangan dada tokoh-tokoh Islam seperi tertuang dalam bukunya, Demokrasi Pancasila (Jakarta 1970:58).

Menurut Hazairin, istilah tersebut hanya mungkin berasal dari kebijaksanaan dan iman orang Indonesia yang beragama Islam. Ini dapat dikaitkan dengan pidato Mr Soepomo dalam sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Soepomo mengatakan bahwa “Indonesia tidak perlu menjadi negara Islam, tetapi cukup menjadi negara yang memakai dasar moral yang luhur yang dianjurkan oleh agama Islam.

Dengan demikian menurut Sopeomo dan juga Mohammad Hatta, Pancasila tidak bertentangan ajaran Islam, khususnya berkenaan dengan way of life (pandangan hidup) dan nilai-nilai. Tokoh nasionalis Islam sendiri yang menandatangani Piagam Jakarta–yaitu Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, H Agus Salim, dan Wahid Hasyim tidak pernah memprotes perubahan tersebut.

“Terkait soal rumusan sila pertama Pancasila itu, saya sempat bertemu Pak Abdul Kahar Muzakir (anggota BPUPKI) pada bulan September 1965. Dalam kesempatan itu saya tanyakan kepada beliau tentang hal tersebut. Menurut beliau, justru yang mengusulkan penambahan kata ‘dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya’ bukan anggota dari kelompok nasionalis Islam,” kata Abdul Hadi WM seraya menyatakan hal-hal atau jasa seperti inilah yang kadang dilupaan publik—termasuk petinggi negara—yang sekarang menggenggam kekuasaan.

Piagam Jakarta adalah nama yang diberikan Mr Muhammad Yamin atas sebuah kesepakatan yang berisi tentang teks tertulis yang isinya memuat rumusan dari hukum dasar negara Republik Indonesia. Piagam ini dirumuskan oleh Panitia Sembilan (Panitia Kecil BPUPKI) pada tanggal 22 Juni 1945 di rumah Bung Karno (rumah itu telah dibongkar dan dijadikan kompleks Monumen Proklamasi yang berada di Jl Pegangsaan Timur Jakarta).

Piagam ini dibuat setelah melalui rapat maraton yang berlangsung selama sepekan, mulai 10-16 Juli 1945. Untuk mencapai kesepakatan sidang berlangsung alot dan penuh adu argumen yang melibatkan dua kelompok kebangsaan yang saat itu sangat berpengaruh, yakni kelompok nasionalis dan kelompok Islam. Dalam piagam ini tertuang arah dan tujuan bernegera serta memuat pula lima rumusan dasar negara.

Badan Konstituante Republik Indonesia

Konstituante Republik Indonesia adalah sebuah dewan perwakilan yang bertugas untuk membentuk konstitusi baru bagi Republik Indonesia untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Konstituante dipilih dalam sebuah pemilihan umum pada bulan Desember 1955. Dewan ini bersidang di Bandung antara bulan November 1956 hingga dibubarkan oleh Presiden Soekarno lewat sebuah dekret presiden pada tanggal 5 Juli 1959.

Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada 17 Agustus 1945. Pada tanggal 18 Agustus, rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memilih Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Rapat tersebut juga mengesahkan rancangan undang-undang dasar yang telah dipersiapkan oleh lembaga pendahulunya, Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) sebagai konstitusi bagi negara yang baru merdeka ini. Dalam pidatonya, Presiden Soekarno menyatakan bahwa UUD 1945 adalah “sebuah konstitusi sementara… sebuah konstitusi kilat” dan menegaskan sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat harus membentuk konstitusi baru yang “lebih lengkap dan lebih sempurna“ saat “telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram”.[1]

UUD 1945 berlaku sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949, sesuai kesepakatan Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Konstitusi yang berlaku adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) yang mengamanatkan sebuah republik federal bersistem parlementer. RIS dibubarkan pada tanggal 17 Agustus 1950 dengan meleburnya seluruh negara-negara bagiannya menjadi Republik Indonesia. Dari Agustus 1950 hingga Juli 1959, konstitusi yang berlaku di Indonesia adalah Undang-Undang Dasar Sementara 1950, yang batang tubuhnya lebih kurang sama dari Konstitusi RIS.

Dekrit 5 Juli 1959

Dengan Rachmat Tuhan Jang Maha Esa KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG Terima kasih telah membaca Kompas.com. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu. Daftarkan email Dengan ini menjatakan dengan chidmat: Bahwa andjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-undang Dasar 1945, jang disampaikan kepada segenap Rakjat Indonesia dengan Amanat Presiden pada tanggal 22 April 1959, tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Dasar Sementara; Bahwa berhubung dengan pernjataan sebagian terbesar anggota-anggota Sidang Pembuat Undang-undang Dasar untuk tidak menghadiri lagi sidang, Konstituante tidak mungkin lagi mendjalankan tugas jang dipertjajakan oleh Rakjat kepadanja: Bahwa hal jang demikian menimbulkan keadaan ketatanegaraan jang membahajakan persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan semesta untuk mentjapai masjarakat jang adil dan makmur; Bahwa dengan dukungan bagian terbesar Rakjat Indonesia dan didorong oleh kejakinan kami sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunja djalan untuk menjelamatkan Negara Proklamasi;
Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut:

Maka atas dasar-dasar tersebut di atas, KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/ PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG Menetapkan pembubaran Konstituante; Menetapkan Undang-undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari tanggal penetapan Dekrit ini dan tidak berlakunja lagi Undang-undang Dasar Sementara. Pembentukan Madjelis Permusjawaratan Rakjat Sementara, Jang terdiri atas Anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakjat ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara, akan diselenggarakan dalam waktu sesingkat-singkatnja,
Ditetapkan di: Djakarta pada tanggal: 5 Djuli 1959 Atas nama Rakjat Indonesia: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/ PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG, SOEKARNO.
 
Piagam Jakarta dan Demokrasi Terpimpin

Wacana mengembalikan Piagam Jakarta kembali jadi pokok bahasan politik pada Januari 1959. Saat itu kabinet secara bulat meloloskan resolusi Sukarno untuk menerapkan Demokrasi Terpimpin dalam kerangka kembali ke UUD 1945. Dari 24 poin resolusi, poin kesembilan menyatakan keberpihakan Sukarno terhadap aspirasi umat Islam yang ingin Piagam Jakarta dikembalikan: “Demi memenuhi harapan-harapan kelompok Islam dalam kaitannya dengan upaya memulihkan dan menjamin keamanan umum, keberadaan Piagam Jakarta 22 Juni 1945 diakui.” Pada 22 April 1959, Sukarno menyampaikan gagasan tersebut di depan Konstituante. Debat sengit terjadi. Kelompok non-Islam menganggap Piagam Jakarta hanyalah salah satu dokumen menuju kemerdekaan yang tidak bisa dijadikan sumber hukum. Sebaliknya, kubu Islam menganggap Piagam Jakarta bukan hanya memengaruhi pembukaan UUD 1945 tapi juga seluruh batang tubuh UUD 1945. Dengan demikian, ia tetap memiliki makna hukum dan bisa dipakai sebagai sumber hukum untuk menerapkan aturan-aturan Islam bagi umat Islam. Sementara itu Kahar Muzakkir, seorang tokoh Muhammadiyah, mempertanyakan maksud pemerintah menghidupkan kembali Piagam Jakarta. Kahar curiga Sukarno hanya ingin “memperalat” umat Islam untuk memuluskan kepentingannya melaksanakan demokrasi terpimpin. “Oleh karena itu ia mengusulkan agar Konstituante melanjutkan tugasnya sampai dapat diperoleh suatu hasil yang bisa diterima umat Islam dan dapat dipertanggungjawabkannya,” tulis Jan S. Aritonang dalam Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (2004).

Perdebatan tak kunjung usai mengenai status Piagam Jakarta akhirnya mendorong Sukarno mengeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959. Melalui dekrit yang didukung penuh kelompok militer tersebut, ia membubarkan Konstituante dan menyatakan kembali ke UUD 1945. Pembukaan dekrit ini menyatakan Piagam Jakarta menjiwai UUD 1945 dan merupakan bagian integral dari UUD 1945. “Meski demikian status “tujuh kata” tetap tidak jelas dan terus menjadi persoalan kontroversoal. Persoalan ini pada akhirnya tenggelam dalam hiruk-pikuk Manipol Usdek dan Nasakom yang digelorakan Sukarno sendiri,” tulis Yudi Latif dalam Inteligensia Muslim dan Kuasa (2012). Ahmad Syafii Ma’rif dalam Islam dan Politik: Teori Belah Bambu, Masa Demokrasi Terpimpin (1996) secara tersirat menilai hilangnya tujuh kata Piagam Jakarta disebabkan kurangnya kegigihan wakil-wakil Islam dalam menguasai komposisi kursi di PPKI. Menurutnya, dari 27 anggota PPKI, hanya ada tiga perwakilan organsiasi Islam, yakni Wahid Hasyim (NU) serta Ki Bagus dan Kasman (Muhammadiyah). “Tampaknya pada waktu itu, wakil-wakil golongan Islam terlalu rendah hati untuk berebut menguasai PPKI, hingga jelas wakil nasionalis menjadi sangat dominan dalam badan itu,” tulis Ma’arif. Hingga medio 1965, Sukarno tampaknya sadar bahwa Islam masih merupakan kunci bagi langkah-langkah politiknya. Ia terus memainkan isu Piagam Jakarta untuk menarik simpati tokoh dan politisi Islam yang kecewa. “Nah Jakarta Charter ini, saudara-saudara, sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945, dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut. Jakarta Charter ini saudara-saudara, ditandatangani 22 Juni 1945. Waktu itu jaman Jepang … Ditandatangani oleh –saya bacakan, ya– Ir. Soekarno, Drs Mohammad Hatta, Mr AA Maramis, Abikusno Cokrosuyoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, Wahid Hasyim, dan Mr. Mohammad Yamin, 9 orang,” ujar Sukarno dalam peringatan lahirnya Piagam Jakarta 22 Juni 1965.

Piagam Jakarta dan Orde Baru

Sementara itu suara-suara yang ingin menegakkan Syari’at Islam atau Islam sebagai dasar negara nyaris tak terdengar. Boleh jadi karena intervensi negara yang terlalu kuat terhadap gerak-gerik warganya termasuk ormas membuat semuanya menjadi diam dan tiarap, seolah ada kesimpulan bahwa berbeda dengan mainstrem negara adalah berbahaya. Bukan itu saja, tahun 1980-an bahkan pemerintah mulai menerapkan mono-loyalitas mengharuskan seluruh organisasi, kepemudaan sampai kemasyarakatan berasaskan Pancasila, sebagai satu-satunya asas. Kita menyebutnya asas tunggal. Dengan peraturan baru itu setiap perserikatan yang tidak berasaskan Pancasila dianggap bertentangan dengan negara/ maka dan harus siap dibubarkan.

Dalam perkembangannnya untuk semua itu pemerintah menghadiahi umat Islam atau mengakomodir kepentingan umat Islam dalam berbagai bentuknya, misalnya dalam bentuk akomodasi struktural; diberlakukannya Undang-undang Perkawinan tahun 1974, Undang-undang Peradilan Agama tahun 1989, Kompilasi Hukum Islam tahun 1991, diubahnya peraturan tentang seragam sekolah dalam hal ini penggunaan tentang jilbab tahun 1991, keputusan bersama ditingkat menteri tentang amil zakat, infak dan shadakah juga tahun 1991, dan lain-lain. Sejalan dengan itu, kelahiran ICMI pada tahun 1990-an, juga bisa dianggap sebagai bibit munculnya kembali cita-cita Islam yang mewarnai kehidupan bernegara. Meski kita tidak bisa menyuarakan bahwa mereka menyuarakan tegaknya Syari’at Islam, nanum ICMI yang dimotori oleh intelektual beragama Islam, Dr. Ir.B.J. Habiebie, waktu itu menjabat menristek sebagai lampu hijau kebangunan Islam yang selama ini seolah-olah terlelap dan tercengkeram.

Fenomena lainnya adalah persetujuan pemerintah terhadap lahirnya Bank Muamalah, Bank yang mendasarkan pada sistem Syari’ah dan menghindari sistem konvensional yang menyerempet riba, selain itu pula masuknya sejumlah tokoh mereka ke senayan, oleh Hefner, seorang antropolog dan indosianis dibahasakan dengan greening atau penghijauan senayan, hijau selalu berkonotasi dengan Islam. Sebagaimana di tegaskan dalam pendahuluan langkah ini hanya diambil Soeharto guna menyelamatkan kursi kekuasaannya. Lebih jauh ulasan tentang kondisi gerakan Islam masa Soeharto adalah sebagai berikut:.

Fase pertama, akan menjabarkan proses politisasi gerakan hingga kekuatan independent Islam yang bertahan dan mengambil jarak bahkan bereksistensi dengan rezim Soeharto melalui kekuatan wacana Islam kultural.

Kedua, akan mengulas fase dimana Soeharto sudah mulai khawatir dengan keamanan kekuasaannya oleh ancaman latent Islamis yang telah mengakar sejak zaman pra kemerdekaan. Fase ini Soeharto mencoba merayu umat Islam dengan memasukkannya ke senayan, memperdakan syariat, membikin organisasi dengan corak Islam.

Piagam Jakarta di Era Reformasi


Namun, pascareformasi 1998, wacana formalisasi syariat Islam kembali menguak, bahkan mewarnai konstelasi perpolitikan Tanah Air melalui proses amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Di ranah politik formal, tuntutan penerapan syariat Islam mulai mencuat saat sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tahun 1999 yang mengagendakan amandemen UUD 1945. Wacana tersebut terus mengemuka dalam empat kali pelaksanaan sidang tahunan MPR hingga tahun 2002. Wacana ini dimotori oleh partai politik yang berasaskan Islam, seperti Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Bulan Bintang (PBB), dan Partai Keadilan (sekarang PKS). Tuntutan tiga partai ini adalah menerapkan syariat Islam, salah satunya dengan cara mengembalikan tujuh kata yang dihapus dalam Piagam Jakarta dan diakomodir dalam amandemen UUD 1945, Pasal 29 ayat 1. Namun, sejarah mencatat upaya tersebut belum berhasil direalisasikan.

Khotimah

Dari pembahasan yang telah dipaparkan dalam artikel ini dapat dikemukakan 2 (dua) buah konklusi penting sebagai sebagai berikut:

Pertama, mayoritas tokoh-tokoh Muslim, seperti Endang Saefuddin Anshari, K.H. M. Ahmad Dahlan dan Prof. Hazairin, Piagam Jakarta yang dihidupkan kembali lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 bersifat mengikat. Karena itu, meskipun Piagam Jakarta tidak kembali ke tempatnya semula, yaitu di Preambul UUD 1945, melalui bunyi konsideran Dekrit Presiden tersebut menurut Endang Saifuddin Anshari, Piagam Jakarta dan seluruh kalimat kalimat islami dari mukaddimah dan batang tubuh UUD 1945, secara serentak dihidupkan kembali oleh Dekrit Presiden38 5 Juli 1959. Ini berarti, sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959, spirit Piagam Jakarta maka secara implisit bahkan eksplisit Piagam Jakarta hingga sekarang masih tetap menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 tentunya masih dan akan tetap terus menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 meskipun UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 itu telah beberapa kali mengalami amandemen.

Kedua, hanya ada segelintir segelintir tokoh Muslim, seperti Abdurrahman Wahid dan Yusril Ihza Mahendra, dan beberapa orang tokoh Non-Muslim, seperti J.T.C Simorangkir dan B. Mang Reng Say menyatakan sebaliknya, Piagam yang hanya disebut dalam konsiderans dan bukan dalam diktum Dekrit Presiden 5 Juli 1959, tidak lebih dari sekedar pernyataan keyakinan pribadi Presiden Soekarno saja. Karena itu, Piagam Jakarta tidak menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 yang berlaku saat ini dan tidak pula mengikat secara hukum.

(Anwar MMSA,alumni Pasca Sarjana UNJ Prodi Sejarah)



Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *